Selasa, 27 September 2011

Judul: Domestikasi Arah Politik Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): T.H. Hari Sucahyo
Saya Pengamat di Semarang
Topik: Meluruskan Persepsi Politisi tentang Pendidikan
Tanggal: 29 November 2004

Adalah seorang Paulo Freire yang mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila dunia pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik ? tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumberdaya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif ? atau justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok ?

Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan bila mencermati pelaksanaan politik pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka merebut bangsa ini dari tangan penjajah. Mereka adalah pemimpin politik yang dapat dipandang sebagai model yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya : Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi.

Sebaliknya pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak berasyik masyuk dengan kepentingan kelompok,karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Dalam pandangan mereka dunia pendidikan tidak menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan, digeser ke pinggir. Hal ini bisa dilihat dari animo partai politik terhadap posisi-posisi politis. pada umumnya untuk kementerian Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, atau BUMN yang selalu diperebutkan dengan sengit, sedangkan kementerian Pendidikan dianggap poisisi kering, sehingga klop kalau dikategorikan sebagai pelengkap atau hiburan yang boleh diambil siapa pun yang berminat.

Maka tidak mengherankan bila dalama periode tersebut bahkan hingga sekarang dunia pendidikan mengalami krisis. salah urus, begitu kata-kata yang tepat terhadap dunia pendidikan kita. Bagaimana tidak, selama lebih dari 32 tahun Orde Baru plus 6 tahun Orde Reformasi, persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan, saran-prasarana, evaluasi akhir, dan masalah-masalah yang sesungguhnya sejak awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang sebenarnya.

Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik maupun otonomi sekolah dan kampus serta keilmuan pada kenyataannya tak lebih dari sekedar slogan-slogan kosong atau janji-janji politik manis saja. Sangat mudah diucapkan, namun susah dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik. seperti dikatakan David N. Plank dan William Lowe Boyd ( 1994 ) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise : The Flight From Democracy, bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis mereka, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain; justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain, baik itu dari para pekerja politik, politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.

Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan ( domestikasi ) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin ( menyitir ucapan Tantowi Yahya dalam Who Wants to be Millioner )

Meskipun begitu kita tetap percaya dibawah Kabinet Indonesia Bersatu ( KIB ) masih akan ditemukan politisi-politisi, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif yang mengutamakan hati nuraninya dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan segala sesuatu. Hanya saja kita jangan menjadi over expectation bila mereka harus berhadapan dengan sistem. Sebaliknya dari kalangan pendidik saatnya untuk mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi; namun ke depan,ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik.

Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.

Jumat, 24 Juni 2011


Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial. Untuk uraian lebih lengkap dari beliau silahkan download di sini.
Namun, menurut pandangan saya justru cuma ada tiga ciri penting dari negara hukum sehingga suatu negara dapat dikategorikan dalam negara yang berdasarkan hukum yaitu: Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman (Independent of the Judiciary), Kemandirian Profesi Hukum (Independent of the Legal Profession), dan Kemerdekaan Pers (Press Freedom).
Ketiga unsur inilah yang paling berkepentingan untuk menjaga agar tetap tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dengan kedua belas cirinya yang sudah disebutkan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Dalam pandanganku, kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah paling sentral untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikatakan layak menyandang gelar negara hukum. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara hanya berdasarkan kekuasaan dan selera politik dari penguasa resmi negara tersebut. Kekuasaan kehakiman yang Merdeka dan Mandiri ini tidak bisa juga diartikan bahwa hakim sangat bebas dalam memutus perkara akan tetapi dalam memutus perkara hakim harus dapat melihat dengan jernih dalam memberikan pertimbangan dalam putusan-putusannya sehingga layak untuk dipertanggung jawabkan kepada Tuhan YME, layak juga secara akademis, dan layak untuk masyarakat dapat menemukan kepastian dan keadilan
Akan tetapi kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini juga harus ditopang oleh kemandirian dari profesi hukum, tanpa adanya kemandirian dari profesi hukum maka sulit untuk bisa mengharapkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Artinya asosiasi profesi hukum harus mengambil peran aktif dalam melindungi hak-hak asasi manusia termasuk pemberantasan korupsi di suatu negara dan mengambil peran aktif dalam merumuskan tujuan negara di bidang hukum.
Kemerdekaan Pers merupakan kata kunci dalam memahami makna transparansi dan akuntabilitas dari penyelenggara negara, maka saya sangat sepakat dengan pendapat dari Ketua MA Prof Dr. Bagirmanan, SH, MCL yang menyatakan bahwa “Jangan sampai tangan hakim berlumuran ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi, pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi tetapi juga penjaga demokrasi. Hakim sangat memerlukan demokrasi, Menurut dia, hanya demokrasi yang mengenal dan menjamin kebebasan hakim atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu jangan sampai hakim ikut mematikan demokrasi. Jika itu terjadi maka tidak lain berarti hakim sedang memasung kebebasan atau kemerdekaannya sendiri.”
Unsur inipun penting karena tanpa adanya kemerdekaan pers maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kemandirian profesi hukum menjadi hilang tak bermakna
Tiga ciri ini sangat penting untuk mendukung terciptanya negara hukum, karena jika salah satu ciri ini hilang, maka perdebatan konseptual dan konteksual akan negara hukumpun serta merta menjadi hilang. Dan masyarakat akan menjadi hilang kepercayaan terhadap kedaulatan hukum yang justru akan menjauhkan masyarakat dari aspek keadilan dan kepastian hukum



TINJAUAN PERSOALAN HUKUM PEMILIKAN TANAH (BEKAS ) EIGENDOM
(Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.Hum)

 
PENDAHULUAN
Merdeka sudah 63 tahun, namun persoalan tanah yang berkaitan hak kepemilikan tanah dengan title hak barat seperti eigendom, opstal, erfpacht dll, masih juga menimbulkan persoalan-persoalan baru dimasyarakat. Padahal sejak tahun 1960 hak kepemilikan atas tanah tersebut ada yang telah dihapus atau dikonversi dalam menjadi hak-hak pemilikan yang baru. Dihapus karena hukum menentukan demikian, misalnya hak tersebut terkena UU No. 1 tahun 1958, terkena nasionalisasi dst. UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau biasa disingkat UUPA ( undang-undang pokok agraria ) merupakan pegangan dan pedoman baru pengaturan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah setelah kita merdeka, dan sekaligus mencabut ketentuan hukum sebelumnya yang mengatur tentang hak-hak barat tersebut ( buku II BW yang berkaitan dengan tanah ). Alasan politisnya sangat ekploitatif- feodalisme dan diskriminatif, tidak sesuai dengan dasar falsafah dan kemerdekaan Indonesia. Filosofi konversi hak oleh Negara adalah bentuk pengakuan Negara atas hak keperdataan warga Negara dan kedua, pengaturan kembali hukum hak atas tanah yang lama yang bersifat ekploitatif- diskriminatif, disesuaikan dengan dasar-dasar hukum Indonesia yang berlandaskan pada hukum (adat).
Dasar hukum pengaturan tanah bekas hak barat diatur dalam UUPA, beserta beberapa peraturan pelaksanaannya: PMA ( Peraturan Menteri Agraria )No. 2 tahun 1960, PMA No. 13 tahun 1961, Keppres 32 tahun 1979 jo. PMDN No. 3 tahun 1979, PMDN No. 6 tahun 1972, PMDN No. 5 tahun 1973 dan terakhir PMNA No. 9 tahun 1999.
Isu hukum yang hendak disampaikan disini adalah khusus tentang prinsip dasar pengaturan pemilikan tanah ( bekas ) hak eigendom sejak terbitnya UUPA tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hal tersebut.
Hak Eigendom
Hak Eigendom atau lengkapnya disebut " eigendom recht" atau "right of property" dapat diterjemahkan sebagai " hakmilik ", diatur dalam buku II BW ( burgerlijke wetboek) atau KUHPerd (Kitab Undang-Undang HUkum Perdata ). Hak eigendom ini dikontruksikan sebagai hak kepemilikan atas tanah yang tertinggi diantara hak-hak kepemilikan yang lain. Hak eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas tanah yang terpenuh, tertinggi yang dapat dipunyai oleh seseorang. Terpenuh karena penguasaan hak atas tanah tersebut bisa berlangsung selamanya, dapat diteruskan atau diwariskan kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas atas tanah ini tidak dibatasi jangka waktu, tidak seperti jenis hak atas tanah yang lain, misalnya hak erfpacht ( usaha ) atau hak opstal ( bangunan ). ( lihat pasal 570 BW).
Pada tahun 1960 semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom bukan dihapus namun di ubah atau dikonversi " convertion", conversie" menjadi jenis-jenis hak atas tanah tertentu, dengan suatu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, hak eigendom menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak guna bangunan. Pada tahun 1980 Hak atas tanah (bekas ) barat yang telah dikonversi yang mempunyai jangka waktu serta yang tidak memenuhi syarat hapus, dan tenahnya dikuasai oleh Negara " tanah Negara". Bagi mereka bekas pemegang hak atas tanah diberi kesempatan untuk dapat mengajukan permohonan hak atas tanah bekas haknya sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan umum atau jika tidak diduduki oleh masyarakat pada umumnya.
Pengertian konversi ini dalam hukum pada asasnya adalah merupakan perubahan atau penyesuaian atau bisa dikatakan penggantian yang bertujuan untuk penyeragaman atau unifikasi hukum. Dengan kata lain konversi ini bertujuan mengadakan konstruksi ulang pengaturan hak atas tanah yang diatur oleh hukum sebelumnya diubah disesuaikan dengan hukum yang baru. Hak eigendom yang sebelumnya diatur oleh hukum perdata barat atau BW ( Burgelijke van Wetboek ) termasuk disini hak atas tanah adat, sejak berlakunya UUPA, diubah atau disesuaikan dengan undang-undang ini. Berdasarkan hukum konversi hak atas tanah barat dan adat menjadi suatu hak atas tanah yang baru terjadi karena hukum ( van rechtwege). Konversi karena hukum baru akan terjadi apabila memenuhi suatu persyaratan tertentu dan dilakukan dengan suatu tindakan hukum berupa suatu penetapan keputusan dari pejabat yang berwenang yang berupa pernyataan penegasan ( deklaratur ) pernyataan penegasan ini untuk status hukum hak atas tanah dan jenisnya dan terpenuhinya syarat bagi pemegang haknya. Misalnya hak eigendom dikonversi menjadi hak milik. Artinya syarat untuk konversi eigendom menjadi hak milik karena persyaratan subyek dan obyeknya terpenuhi.
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam konversi hak eigendom berkaitan antara hubungan hukum antara subyek dan obyek hukum yang berakibat pada perubahan status hukum hak atas tanah:
Pertama, hak eigendom dikonversi menurut hukum menjadi hak milik, apabila subyek pemegang haknya adalah warga Negara Indonesia; Kedua, hak eigendom akan dikonversi menjadi hak guna bangunan apabila pemegang haknya tidak memenuhi syarat untuk dapat memperoleh hak milikmaka hak eigendom akan dikonversi menjadi hak guna bangunan atau jenis hak yang lainnya; Ketiga, hak eigendom menjadi tanah yang dikuasai Negara apabila pemegang haknya dalam jangka waktu tertentu tidak mendaftarkan hak konversinya kepada pejabat yang berwenang.
PENGATURAN HAK EIGENDOM
Prinsip dasar yang harus dipegang oleh pemegang hak eigendom sejak tanggal 24 september 1960 (berlakunya UU No. 5 tahun 1960 ) hukumnya wajib mendaftarkan hak konversinya, hal ini merupakan perintah undang-undang. ( lihat pasal I ketentuan konversi UUPA ). Apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang ( lihat pasal 21 UUPA) maka berdasarkan ketentuan konversi sebagaimana yang diatur dalam pasal I konversi UUPA sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali yang mempunyainya tidak memenuhi syarat
Syarat yang harus dipenuhi bagi para bekas pemegang hak eigendom yang ingin dikonversi menjadi hak milik ( menurut UUPA ). Pada pokoknya secara hukum mereka ini pada tanggal 24 september 1960, berstatus warga Negara indonesia dan mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa akta asli ( minuut ) atau salinan ( grosse ) eigendom ( lihat PMA No. 2 tahun 1960 ). Luasan tanahnya tidak melebihi batas maksimum dan atau tidak absentee ( gontai ) ( lihat UU No. 56 tahun 1960 jo. PP No. 24 tahun 1961 ). Selanjutnya jangka waktu pendaftarannya tidak melebihi batas waktu yang ditentukan yakni 1 tahun sejak 24 september 1960. Bilamana syarat tersebut dipenuhi maka pejabat administrasi yang berwenang dalam hal ini Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( KKPT ) pada waktu itu ( BPN setempat saat ini ) akan mencatat / mendaftar penegasan konversi hak eigendom tersebut dalam buku tanah dan dikeluarkan sertifikat hak milik atas nama pemegang bekas hak eigendom tersebut. Tata cara mekanisme pencatatan penegasan konversi pendaftaran ini lebih rinci diatur dalam PP ( peraturan Pemerintah ) No. 10 tahun 1961 yang selanjutnya diubah dan diganti dengan PP No. 24 tahun 1997, sedang aturan pelaksanaannya diatur dalam PMNA ( Peraturan Menteri Negara Agraria ) /KBPN ( Kepala Badan Pertanahan Nasional ) No. 3 tahun 1997.
Namun sebaliknya apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka hak eigendom tersebut demi hukum berubah ( konversi ) menjadi hak guna bangunan yang berlangsung selama 20 tahun. Selanjutnya hak tersebut hapus, sedangkan tanah tersebut berubah status hukumnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah Negara ( lihat Keppres ( keputusan presidan ) No. 32 tahun 1979). Dalam posisi demikian hubungan hukum antara pemilik ( selanjutnya disebut sebagai bekas pemegang hak ) dengan tanahnya terputus. Namun demikian bekas pemegang hak masih mempunyai hubungan keperdataan dengan benda-benda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut.
Pertanyaan hukumnya adalah apakah bekas pemegang hak masih dimungkin memperoleh hak atas tanah yang dikuasai Negara tersebut?
Prinsip dasar, pertama, Hukum mengatur bahwa sejak tahun 1980 seluruh hak-hak barat sudah tidak ada lagi ( karena konversi ) atau hapus yang ada adalah tanah Negara bekas hak barat. Berdasarkan ketentuan hukum, ada 3 prioritas yang wajib diperhatikan: pertama, kepentingan umum; kedua, kepentingan bekas pemegang hak, dan; ketiga mereka yang penduduki / memanfaatkan tanah dengan etiket baik dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan bekas pemegang hak. Kedua, adanya kompensasi terhadap benda2 diatas tanah Negara bekas hak barat tersebut. Artinya siapapun yang menginginkan hak atas tanah Negara tersebut harus memberikan konpensasi kepada bekas pemegang haknya
Pertama, prioritasnya ada pada Negara adalah dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum atau Negara. Kepentingan umum atau Negara ini perlu penjabaran lebih lanjut. Apakah criteria kepentingan umum atau Negara. Apabila dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan Negara / umum maka tertutuplah kemungkinan bekas pemegang hak dan masyarakat yang menduduki untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Namun demikian Negara akan memberikan kompensasi baik bekas pemegang haknya maupun masyarakat yang pernah menguasai atau mendudukinya.
Kedua, Apabila tanah Negara tersebut tidak dipergunakankan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan tidak ada pendudukan oleh masyarakat maka bekas pemegang hak mendapatkan prioritas memperoleh kembali dengan jalan mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut. Dengan catatan apabila di atas tanah tersebut ada pendudukan masyarakat maka harus ada kompensasinya untuk mereka.
Ketiga, prioritas diberikan kepada masyarakat yang menguasai atau menduduki tanah Negara bekas hak barat tersebut. Apabila bekas hak barat tersebut berupa pekarangan atau lahan tanpa bangunan maka tidak ada kewajiban bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak.
Persoalan hukum yang sering timbul adalah tuntutan mereka menguasai hak eigendom tersebut sebelum tahun 1960 yang diperoleh dari peralihan hak misalnya jual beli, hibah, warisan dll. Disini yang harus diperhatikan adalah apakah tanah eigendom tersebut terkena undang-undang No. 1 tahun 1958, atau terkena undang-undang nasionalisasi dan apakah proses peralihan haknya pada waktu itu sudah memenuhi persyaratan perijinan yang harus dipenuhi.
KESIMPULAN
Tanah – tanah Negara ( bekas) eigendom pada prinsipnya dapat dimohonkan sesuatu hak atas tanah oleh siapapun juga, sepanjang tanah tersebut tidak dipergunakan atau dimanfaatkan untuk Negara atau kepentingan umum. Permohonan hak atas tanah Negara bekas eigendom tidak didasarkan pada riwayat kepemilikan seperti warisan hanya petunjuk bukan satu-satunya pedoman dalam rangka pengajuan. Hubungan hukum hak keperdataan bekas pemegang hak hanyalah berkaitan dengan benda-benda yang ada diatas tanah bukan tanahnya. Status tanahnya adalah " tanah Negara" ( tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ).
Jogya, 25 april 2009
Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.M.hum.


Jumat, 20 Mei 2011

1
YESUS KOMPLEKS:
Apakah Yesus itu Allah?
Pernahkan anda bertemu dengan seseorang, yang punya magnet personal begitu besar,
sehingga dia selalu jadi pusat perhatian? Mungkin karena kepribadiannya atau kepintarannya
--- tapi ada sesuatu dari dia yang mempesona. Itulah yang terjadi dua ribu tahun lalu terhadap
Yesus Kristus.
Keagungan Yesus sangat jelas bagi mereka yang melihat dan mendengarNya. Tapi, ketika
sebagian besar orang besar pelan-pelan hilang dalam buku-buku sejarah, Yesus dari Nazareth
tetap jadi fokus kontroversi di banyak buku dan media. Dan sebagian besar kontroversi
berada disekitar klaim radikal Yesus mengenai dirinya sendiri.
Sebagai tukang kayu dari sebuah desa di Galilea di Israel, Yesus, mengklaim drinya, jika
benar, memberi implikasi besar terhadap hidup kita. Menurut Yesus, anda dan saya istimewa,
bagian dari rencana besar kosmis dan Dia adalah pusat dari semuanya. Klaim ini dan yang
lain semacamnya mengagetkan mereka yang mendengarnya.
Terutama karena klaim, yang membuat marah, Yesuslah yang menyebabkan Dia dipandang
sebagai pengacau oleh penguasa Romawi dan Yahudi. Kendati Dia adalah orang luar yang
tidak punya kredensial atau basis politik, dalam waktu tiga tahun, Yesus mengubah dunia
selama 20 abad terakhir ini. Pemimpin moral dan agama lain meninggalkan dampak --- tapi
tidak seperti tukang kayu yang tidak dikenal dari Nazareth. Ada apa tentang Yasus Kristus
yang membuatnya berbeda? Apakah dia hanya seorang besar, atau sesuatu yang lebih?
Pertanyaan-pertannyaan ini masuk ke inti siapa Yesus sebenarnya. Ada yang percaya dia
hanyalah guru moral yang besar, yang lain percaya dia hanyalah pemimpin dari agama
terbesar dunia. Namun banyak yang percaya lebih jauh lagi. Orang Kristen percaya Allah
telah melawat kita dalam bentuk manusia. Dan mereka percaya ada bukti-bukti yang
mendukungnya. jadi, Siapa sebenarnya Yesus? Mari kita lihat lebih dekat.
Ketika kita melihat lebih dalam dari pribadi yang paling kontroversial di dunia, kita mulai
bertanya apa mungkin Yesus hanyalah seorang guru moral yang besar?
Guru Moral Yang Besar?
Hampir semua ahli mengakui Yesus adalah guru moral yang besar. Pada kenyataannya,
kedalaman tajamNya dalam moralitas kemanusiaan adalah sebuah pencapaian yang juga
diakui oleh agama-agama lain. Dalam bukunya, Jesus of Nazareth, pakar Yahudi, Joseph
Klausner menulis, "Secara universal diakui .... Kristus mengajarkan etika yang paling murni
dan sempurna... yang melempar semua persepsi dan pepatah dari manusia paling bijak di
jaman kuno jauh kedalam bayangan."[1]
Khotbah Yesus di atas bukit telah disebut sebagai pengajaran paling unggul etika manusia
yang pernah diutarakan oleh seorang individu. Pada kenyatannya aka yang sekarang kita
kenali sebagai "persamaan hak" adalah hasil dari pengajaran Yesus. Sejarahwan Will Durant
menyatakan jika Yesus hidup dan memperjuangkan persamaan hak di era modern Dia akan
langsung dikirim ke Siberia. "Dia yang terbesar diantara kamu, adalah dia yang melayani
kami" --- ini telah membalikkan semua kebijaksanaan politik, yang sudah wajar.[2]
2
Sebagian orang mencoba memisahkan pengajaran etika Yesus dari klamNya tentang diriNya,
dan percaya Dia hanyalah manusia biasa yang besar dan mengajarkan prinsip - prinsip moral
luhur (mulia). Inilah pendekatan yang diambil dari salah satu bapa pendiri Amerika.
Presiden Thomas Jefferson, rasionalis yang tercerahkan, duduk di Gedung Putih
dengan dua kopi identik Perjanjian Baru, sebuah silet dan kertas. Sepanjang beberapa
malam, dia menggunting dan menempelkan kitab sucinya, yang tipis dan disebutnya
"Filsafat Yesus dari Nazareth". Setelah memotong semua ayat/kalimat yang
menyebutkan (menyiratkan) Ke-Tuhan-an Yesus, Jefferson mempunyai Yesus yang
tidak lebih dan tidak kurang daripada sebuah panduan etika yang baik.[3]
Ironisnya, kata-kata Jefferson, yang dikenang, di Deklarasi Kemerdekaan berakar pada
pengajaran Yesus bahwa setiap orang sangat berharga dan penting bagi Allah, terlepas dari
jenis kelamin, ras, atau status sosial. Dokumen terkenal itu menambahkan, "Kami pegang
teguh kebenaran yang telah membuktikan dirinya sendiri, bahwa semua manusia diciptakan
setara, bahwa mereka diperlengkapi oleh Penciptanya dengan hak-hak azasi.
Tapi Jefferson tidak pernah bertanya, bagaimana Yesus bisa jadi pemimpin moralitas besar
jika Dia berbohong tentang Dia adalah Allah? Jadi mungkin Dia tidak benar-benar bermoral,
tapi motifnya adalah memulai sebuah agama besar. Mari kita lihat jika itulah penjelasan
tentang kebesaran Yesus.
Pemimpin Besar Agama?
Apakah Yesus pantas disebut sebagai "pemimpin besar agama"? Kejutannya, Yesus tidak
pernah mengklaim diriNya sebagai pemimpin agama. Dia tidak pernah masuk dalam
perpolitikan agama atau didorong oleh agenda ambisius dan Dia melayani (berkotbah) diluar
kerangka kelembagaan agama.
Ketika membandingkan Yesus dengan pemimpin besar agama lain, perbedaan besar muncul.
Ravi Zacharias, yang besar dalam budaya Hindu, mempelajari agama-agama dunia dan
mengamati perbedaan fundamental antara pendiri agama lain dengan Yesus Kristus.
"Apapun yang kita buat terhadap klaim mereka, satu realitas tidak akan terlewatkan.
Mereka adalah guru-guru yang menunjuk pengajaran atau memperlihatkan jalan
tertentu. Dari semua, muncul perintah-perintah, cara hidup. Bukanlah Zoroaster yang
jadi panutan; Zoroaster yang anda dengarkan. Bukan Buddha yang membebaskan
anda; Kebebarannya yang Agung yang memerintahkan anda. Bukan Muhammad
yang mengubah anda; keindahan Quran yang menarik anda. Kontrasnya, Yesus tidak
hanya mengajar atau menjelaskan pesan-pesanNya. Dia identik dengan
pesanNya."[40
Kebenaran Zacharias diperjelas dengan beberapa kali di Injil pesan pengajaran Yesus
hanyalan "Datang kepada Ku" atau "Ikut Aku" atau "Patuhi Aku". Juga, Yesus menegaskan
bahwa misi utamanya adalah untuk mengampuni dosa, sesuatu yang hanya bisa dilakukan
oleh Allah.
Tidak ada pemimpin agama besar yang pernah mengklaim berkuasa mengampuni dosa. Tapi
bukan klaim itu saja yang memisahkan Yesus dari yang lain. Dalam The World’s Great
Religions, Huston Smith mengamati, "Hanya dua orang yang sangat mengejutkan orang pada
jamannya sehingga pertanyaan yang ditujukan kepadanya bukanlah "Siapa dia?" tapi ‘Dia itu
apa?’ Mereka adalah Yesus dan Buddha. Jawaban keduanya atas pertanyaan ini
bertentangan. Buddha dengan tegas menyatakan dia hanyalah seorang manusia bukan allah --
3
- seakan-akan dia bisa memperkirakan belakangan ada upaya untuk memujanya. Yesus, disisi
lain, mengklaim.... Dia itu Tuhan.”[5]
Apakah Yesus Mengklaim Dirinya Adalah Allah?
Sudah jelas, sejak awal gereja, Yesus dipanggil Tuhan dan dipandang oleh orang Kristen
sebagai Allah. Namun tetap saja Ke-Tuhan-an Yesus terus jadi perdebagan besar. Jadi
pertanyaan —a dan memang pertanyaannya — adalah : Apakah Yesus mengklaim diriNya
adalah Allah (Pencipta), atau semacam mahluk mulia yang diciptakan atau diasumsikan oleh
para penulis Perjanjian Baru? (Lihak “Apa Yesus Mengklaim diriNya adalah Allah”)
Beberapa ahli percaya Yesus adalah guru yang sangat berkuasa dan mempunyai kepribadian
yang mendorong murid-murudNya berasumsi Dia adalah Allah. Atau mereka hanya ingin
untuk berpikir Dia adalah Allah, John Dominic Crossan dan Seminar Yesus (kelompok
pakar, yang skeptis, dengan prasangka menolak mujizat) adalah sebagian orang yang percaya
Yesus didefenisikan salah.
Kendati buku seperti The Da Vinci Code berpendapat Ke-Tuhan-an Yesus adalah doktrin
gereja saja, bukti-bukti memperlihatkan sebaliknya (Lihat “Apa ada Konspirasi Da Vinci ?”).
Sebagian besar orang Kristen yang menerima Injil, yang bisa dipercaya, menekankan Yesus
memang mengklaim diriNya sebagai Tuhan (Allah). Dan kepercayaan ini bisa ditelusuri
kebelakang sampai pada pengikut Yesus di awalnya (langsung).
Tapi ada juga mereka yang menerima Yesus sebagai guru agung, tapi tidak bersedia
menyebutNya sebagai Allah. Thomas Jefferson tidak mempersoalkan untuk menerima
pengajaran Yesus atas moral dan etika tapi menolak Ke-Tuhan-anNya.[6] Tapi seperti kami
sudah katakan, dan akan dijelaskan kemudian, jika Yesus bukanglah seperti yang
diklaimNya, maka kita harus mencari alternatif lain, yang tidak satupun akan membuat Dia
jadi guru agung moral.
Bahkan membaca sekilas Injil akan mengungkapkan bahwa Yesus mengklaim lebih dari nabi
seperti Musa atau Daniel. Tapi sifat dasar klaim-klaim itu jadi perhatian kita. Dua pertanyaan
perlu diperhatikan.
• Apakah Yesus mengklaim diriNya adalah Allah?
• Ketika Dia katakan "Allah", apakah Yesus benar-benar memaksudkannya Dia
adalah Pencipta alam semesta seperti yang disebut oleh Kitab Suci Yahudi.
Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu mempertimbangkan kata-kata Yesus di
Matius 28:18, "KepadaKu telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi." Apa yang
dimaksudkan dengan Yesus telah "diberikan" kuasa?
Sebelum menjadi manusia, kita diberitahu bahwa Dia bersama-sama dengan Bapa, dan
sebagai Allah, Dia punya semua kuasa. Namun Filipi 2:6-11 menceritakan kepada kita
kendati Yesus telah ada dalam bentuk Allah, Dia "melepaskan" kekuasaan Allah untuk lahir
jadi manusia. Namun bagian surat itu juga menyatakan kepada kita bahwa setelah
kebangkitan, Yesus dipulihkan lagi dalam kemulianNya semula dan satu hari nanti "setiap
lutut akan bertelut kepadaNya dan menyebut Tuhan."
Jadi, apa yang dimaksud Yesus ketika dia mengklaim memiliki seluruh kuasa di sorga dan di
bumi? Kekuasaan merupakan istilah yang dikenal baik di Israel, yang dijajah Romawi kala
itu. Pada saat itu, Kaisar adalah kekuasaan tertinggi diseluruh Romawi. Keputusannya bisa
langsung mengirim pasukan untuk berperang, menghukum penjahat, dan menetapkan hukum
4
dan peraturan pemerinta. Pada kenyataannya, kekuasaan Kaisar begitu besar sehingga dia
sendiri mengklaim dirinya sama dengan Tuhan. Jadi, hal paling kecil kemungkinannya
adalah Yesus mengklaim punya otoritas sama dengan Kaisar. Tapi Dia tidak hanya
mengatakan Dia punya kekuasaan lebih dari para pemimpin Yahudi atau penguasa Romawi;
Yesus mengklaim memiliki otoritas (kuasa) tertinggi di alam semesta. Bagi mereka yang
mendengarNya, itu berarti Dia adalah Allah. Bukan salah satu allah --- tapi ALLAH. Baik
perkataan dan tindakan menegaskan fakta bahwa mereka benar-benar percaya Yesus adalah
Allah. (Lihat "Apakah Para Rasul Percaya Yesus adalah Allah? ")
Apakah Yesus Mengklaim Sebagai Pencipta?
Tapi mungkin Yesus hanya merefleksikan otoritas Allah dan tidak menyatakan bahwa Dia
adalah Pencipta. Pertama dibaca sekilas kelihatannya tidak meyakinkan. Namun klaim Yesus
memiliki seluruh kuasa akan masuk akal jika Dia adalah Pencipta alam semesta. Kata
"seluruh" berarti segala sesuatu termasuk penciptaan itu sendiri. Ketika kita menggali lebih
dalam kata-kata Yesus sendiri, sebuah pola mulai muncul. Yesus membuat penegasan
tentang diriNya, jika benar, tidak salah lagi merujuk pada Ke-Tuhan-anNya. Inilah sebagian
pernyatan yang dicatat oleh para saksi mata.
• "Akulah kebangkitan dan hidup" (Yohanes 11:25)
• “Akulah terang dunia.” (Yohanes 8:12)
• “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yohanes 10:30)
• “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan
Yang Akhir. ” (Wahyu 22:13).”
• “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yohanes 14:6)
• “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." (Yohanes
14:6)
• “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yohanes 14:9) Sekali lagi,
kita harus kembali kepada konteks. Dalam Kitan Suci Yahudi, ketika Musa bertanya
kepada Allah namaNya didepan semak yang berapi, Allah menjawab, "AKU". Dia
mengatakan kepada Musa bahwa Dia adalah satu-satunya Pencipta, abadi dan ada
disemua tempat.
Sejak jaman Musa, tidak ada satupun orang Yahudi yang berani menyebut dirinya atau orang
lain dengan sebutan "AKU". Karena itu, klaim Yesus sebagai "AKU" langsung membuat
para pemimpin Yahudi sangat marah. Satu kali, contohnya, beberapa pemimpin Yahudi
menjelaskan kepada Yesus kenapa mereka mencoba membunuhNya, "karena Engkau
menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan
diriMu dengan Allah." (Yohanes 10:33).
Tapi pada pokoknya bukan hanya kalimat-kalimat itu yang membuat para pemimpin agama
marah. Poinnya adalah mereka tahu persis apa yang Dia katakan ---Dia mengklaim diriNya
sebagai Allah, Pencipta alam semesta. Hanya dengan klaim ini membawa pada tuduhan
penghujatan. Membaca teks klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah sudah sangat jelas, bukan
hanya oleh kalimatNya, tapi juga oleh reaksi mereka yang mendengarnya.
Allah Seperti Apa?
Ide bahwa kita semua bagian dari Allah, dan didalam kita ada bibit ke-Tuhan-an, tidaklah
bisa diterapkan bagi kata-kata dan tindakan Yesus. Pemikiran semacam itu berasal dari kaum
revisionis, asing bagi pengajaranNya, asing bagi keyakinan yang dikatakanNya, dan asing
bagi para muridNya yang mengerti pengajaranNya. Yesus mengajarkan Dia adalah Allah
5
seperti yang dipahami orang Yahudi tentang Allah dan sama dengan Kitab Suci Yahudi
gambarkan atas Allah, bukan seperti gerakan Abad Baru pahami mengenai Allah.
Yesus maupun para pendengarnya tidak pernah tahu tentang Star Wars, sehingga jika mereka
berbicara tentang Allah, mereka tidak membicarakan kekuatan kosmis. Hanya akan jadi
sejarah yang jelek untuk meredefenisi ulang apa yang dimaksud Yesus akan konsep
Allah. Tapi jika Yesus bukan Allah, apakah kita bisa tetap menyebutNya sebagai guru agung
moral? C. S. Lewis berargumen, ”Saya disini mencoba mencegah siapapun menyatakan hal
bodoh yang sering dikatakan orang mengenai diriNya: 'saya siap menerima Yesus sebagai
guru agung moral, tetapi saya tidak menerima klaimnya sebagai Allah.' Hal ini tidak boleh
dikatakan."[7]
Dalam pencarian akan kebenaran, Lewis tahu bahwa dia tidak bisa mengambil dua jalan itu
berkaitan dengan identitas Yesus. Benar klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah dalam daging
atau klaimNya salah. Dan jika salah, Yesus bukanlah guru agung moral. Dia bisa dengan
sengaja berbohong atau Dia hanyalah orang gila, yang menganggap diriNya Allah.
Apakah Yesus Pembohong?
Salah satu buku politik paling terkenal dan berpengaruh ditulis oleh Noccolo Machiavelli
1532. Dalam buku klasik, The Prince, Machiavelli menjelaskan untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, sukses, dan efesiensi adalah melampaui kesetiaan, iman, dan
kejujuran. Menurut Machiavelli, berbohong itu bagus jika untuk mencapai tujuan politik.
Mungkinkah Yesus Kristus membangun seluruh pelayananNya berdasarkan kebohongan
untuk memperoleh kekuasaan, kemashuran, atau keberhasilan? Faktanya, orang Yahudi,
musuh Yesus, secara konstan berusaha memperlihatkan Dia sebagai pembohong dan penipu.
Mereka akan menyerang Dia dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjebakNya dan
membuat Dia berkontradisksi dengan diriNya sendiri. Namun Yesus selalu menjawab dengan
konsistensi yang mengagumkan.
Pertanyaan yang harus kita hadapi adalah, apa mungkin motivasi Yesus hidup seperti
hidupNya adalah kebohongan? Dia mengajar Allah menentang kebohongan dan
kemunafikan, jadi Dia tidak akan melakukan itu untuk menyenangkan BapaNya. Dia pasti
tidak berbohong demi keuntungan para pengikutNya. (Seluruh murid kecuali satu orang mati
terbunuh jadi martir.) Akhirnya kita tinggal punya dua kemungkinan penjelasan, yang punya
problemnya sendiri.
Keuntungan
Banyak orang berbohong untuk memperoleh keuntungan pribadi. Faktanya, kebanyakan
bohong dimotivasi oleh keuntungan pribadi. Apa yang Yesus harapkan dari berbohong atas
identitasNya? Kekuasaan jadi jawaban paling mudah diperoleh. Jika rakyat percaya Dia
adalah Allah, Dia bisa punya kekuasaan luar biasa besar. (Itulah sebab banyak pemimpin
jaman dulu, seperti Kaisar, mengklaim punya asal usul ilahi.)
Jawaban atas perjelasan ini adalah Yesus menolak semua upaya untuk mendudukkanNya
sebagai penguasa, lebih suka mengecam mereka yang menyalah-gunakan kekuasaan dan
hidup untuk mengejar kekuasaan. Dia juga memilih untuk menjangkau orang yang terbuang
(pelacur dan penderita lepra), mereka yang tidak punya kekuasaan, menciptakan jaringan dari
orang-orang yang pengaruhnya kurang dari nol. Bisa digambarkan sebagai aneh, semua yang
Yesus lakukan dan katakan bergerak menjauhi kekuasaan.
6
Kelihatannya, jika kekuasaan jadi motivasi Yesus, Dia akan menghindari salib dengan segala
cara. Namun, dalam beberapa kesempatan, Dia mengatakan kepada para muridNya bahwa
salib adalah tujuan dan misinya. Bagaimana kematian di salib Romawi bisa memberikan
kekuasaan kepada orang itu?
Kematian, tentu saja, membawa segalanya memasuki fokus yang tepat. Banyak orang martir
mati karena perjuangan yang mereka percayai, tapi hanya sedikit orang mau mati untuk
kebohongan yang sudah diketahui. Tentunya seluruh harapan Yesus untuk memperoleh
keuntungan pribadi akan lenyap di kayu salib. Tapi, sampai pada napas terakhirnya, Dia tidak
pernah mencabut klaimNya sebagai Anak Allah. Yesus menggunakan istilah "Anak
Manusia" dan "Anak Allah" untuk mengidentifikasi sifat dasar sebagai manusia dan Allah.
(Lihat “Apakah Yesus Mengklaim diriNya adalah Allah?”).
Warisan
Jadi jika Yesus berbohong bukan untuk keuntungan pribadi, mungkin klaim radikalnya
dipalsukan untuk meninggalkan sebuah warisan. Tapi prospek dipukuli hancur-hancuran dan
dipaku di salib dengan cepat akan menyurutkan siapapun, yang paling antusias, untuk jadi
bintang super masa depan.
Ada fakta lain, yang sering timbul. Jika Yesus mencabut saja klaim sebagai Anak Allah, Dia
tidak akan di salib (hukum). Karena klaimNya sebagai Allah dan ketidak-sediaan untuk
mencabutnya, yang membawanya ke salib.
Jika meneliti reputasi kredibilitas dan historis mengenai apa yang memotivasi Yesus untuk
berbohong, seseorang harus menjelaskan bagaimana seorang tukang kayu dari desa miskin
Yudea bisa mengantisipasi kejadian-kejadian yang akan mengangkat namanya jadi
terkemuka di dunia. Bagaimana Dia tahu pesan-pesanNya akan bertahan (ada terus sampai
sekarang)? Murid-murid Yesus sudah lari dan Patrus menyangkal Dia. Ini semua bukanlah
sebuah formula untuk menanamkan warisan religius.
Apakah para sejarahwan percaya Yesus berbohong? Para ahli telah menyidik kalimat-kalimat
Yesus dan kehidupanNya untuk melihat apakah ada bukti kejanggalan pada karakter
moralNya. Pada kenyataannya, bahkan yang paling skeptispun kaget oleh kemurnian moral
dan etika Yesus. Salah satu, skeptis dan antagonis, John Stuart Mill (1806 - 73), filsuf. Mill
menulis mengenai Yesus,
"Tentang kehidupan dan perkataan Yesus ada tanda orsinilitas personal
dikombinasikan dengan kedalaman pengertian di tingkat pertama manusia yang
jenius tertinggi yang spesies kita bisa utarakan. Pada saat jenius terbesar (terhebat tak
ada yang melebihi) dikombinasi dengan kualitas yang mungkin reformer moral
terbesar dan martir untuk misinya itu yang pernah hidup di bumi, agama tidak bisa
dikatakan melakukan pilihan salah dalam memilih orang ini sebagai wakil ideal dan
panduan bagi kemanusiaan.”[8]
Menurut sejarahwan Philip Schaff, tidak ada bukti, dalam sejarah gereja atau sekuler, yang
mencatat Yesus berbohong atas apapun. Schaff berargumen, Bagaimana, atas nama logika,
masuk akal, dan pengalaman, seorang penipu, egois, telah menciptakan dan secara konsisten
dari mulai sampai akhir, dikenal sebagai karakter paling mulia dan murni dalam sejarah
dengan aroma kebenaran sempurna dan realitas?"[9]
7
Untuk tetap pada pilihan kebohongan, tampak seperti berenang melawan arus atas apa yang
diajarkan, dihidupi sampai mati, oleh Yesus. Bagi sebagian besar ahli, itu tidak masuk akal.
Kendati begitu, untuk menolak klaim Yesus, seseorang harus mengajukan penjelasan. Dan
jika klaim Yesus tidak benar dan Dia tidak berbohong, satu-satunya pilihan tersisa adalah Dia
membohongi diriNya sendiri.
Apa Yesus Gila?
Albert Schweitzer, penerima Nobel Prize 1952, karena upaya-upaya kemanusiannya, punya
pandangan sendiri tentang Yesus. Schweitzer menyimpulkan bahwa kegilaan ada dibelakang
klaim Yesus bahwa Dia adalah Allah. Dalam kata lain, Yesus salah atas klaimNya tapi tidak
secara sengaja berbohong. Menurut teori ini, Yesus disesatkan sedemikian rupa hingga Dia
percaya Dialah Mesias.
C. S. Lewis mempertimbangkan pilihan ini dengan hati-hati. Lewis mendeduktif klaim Yesus
--- seakan-akan tidak benar. Dia mengatakan seseorang yang mengklaim sebagai Allah tidak
mungkin jadi guru agung moralitas. "Dia orang gila --- ditingkatan orang yang mengaku dia
adalah telur rebus --- atau dia bisa saja Setan dari Neraka."[10]
Bahkan mereka yang paling skeptis terhadap KeKristenan sangat jarang mempertanyakan
kesadaran Yesus. Reformis sosial William Channing (1780–1842), mengaku bukan orang
Kristen, melakukan pengamatan terhadap Yesus,"Tuduhan secara berlebihan, secara antusias
membohongi-diri adalah yang paling akhir bisa dikatakan tentang Yesus." Dimana kita bisa
temukan jejak itu dalam sejarah? Apakah kita bisa mendeteksinya dalam pemikiranNya?
persepsiNya[11]
Meski kehidupannya dipenuhi oleh imoralitas dan skeptisme personal, filsuf terkemuka
Perancis, Jean-Jacques Rousseau (1712 -78) mengakui superioritas karakter dan pemikiran
Yesus. “Ketika Plato menggambarkan manusia kebenaran, imajinasinya, dipenuhi oleh
hukuman akan kesalahan, tetapi tetap berhak atas ganjaran keutamaan (kebijaksanaan)
tertinggi, dia dengan tepat menggambarkan karakter Kristus. … Pemikiran yang luar biasa.
… Ya, jika kehidupan dan kematian Socrates adalah filsuf, kehidupan dan kematian Yesus
Kristus adalah Allah.”[12]
Schaff melontarkan pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri, " Apa ada
kepintaran pada tingkat itu --- sepenuhnya sehat dan bersemangat, selalu siap dan selalu
percaya diri --- menyerahkan diri secara radikal dan sangat serius kepada khayalan berkaitan
dengan karakter dan misinya sendiri?[13]
Jadi, apakah Yesus seorang pembohong, gila, atau Dia adalah Anak Allah? Dapatkah
Jefferson benar ketika menjuluki Yesus "hanya guru moral yang bagus" dan pada saat yang
sama menolak Ke-Tuhan-anNya? Menariknya, para pendengar Yesus --- mereka yang
percaya dan musuh-musuhNya --- tidak pernah memandang Dia hanya sebagai guru moral.
Yesus menghasilkan tiga dampak utama bagi orang yang bertemu denganNya: kebencian,
ketakutan, atau penyembahan (pemujaan).
Dan sekarang, 2000 tahun kemudian, Yesus masih tetap pribadi yang membelah dunia kita.
Bukan moral, etika, atau warisanNya yang membakar gairah. Pesan yang dibawa Yesus
kepada dunia adalah Allah menciptakan kita dengan tujuan dan tujuan itu ada pada
AnakNya. Klaim Yesus Kristus memaksa kita untuk memilih. Seperti dikatakan Lewis, kita
tidak bisa mengkategorikan Yesus hanya sebagai pemimpin besar agama atau guru moral
yang baik. Mantan pengajar Oxford dan skeptis menantang kita mengambil keputusan sendiri
mengenai Yesus,
8
"Anda harus mengambil keputusan sendiri. Apa orang ini adalah Anak Allah atau
orang gila atau yang lebih buruk lagi. Anda bisa menyebutNya bodoh, anda
meludahiNya dan membunuhNya sebagai setan atau anda bisa jatuh didepan kakiNya
dan memanggilNya Tuhan dan Allah. Tetapi kita tidak bisa menyatakan hal yang
tidak masuk akal dengan menyebutnya sebagai guru yang agung dan manusia. Dia
tidak menyediakan (pandangan itu) terbuka untuk kita. Dia tidak
menghendakinya."[14]
Dalam tulisan "Kekristenan Biasa", Lewis menjelaskan kenapa dia menyimpulkan Yesus
Kristus persis sama dengan klaimNya. Dia secara hati-hati meneliti kehidupan dan perkataan
Yesus dan membawa penulis jenius ini membuang ateismenya dan jadi orang Kristen yang
sungguh-sungguh.
Apakah Yesus Benar-Benar Bangkit Dari Kematian?
Pertanyaan terbesar masa kini adalah, "Siapa sebenarnya Yesus Kristus? Apakah dia hanya
seorang luar biasa, atau dia ALLAH dalam daging, seperti dipercayai oleh para muridNya
Paulus, Johannes, dan yang lainnya. (Lihat “Apakah Para Rasul Percaay Yesus adalah
Allah?”)
Para saksi mata, bagi Yesus Kristus, berbicara dan bertindak sepertinya mereka percaya Dia
bangkit secara fisik dari kematian setelah penyalibannya. Jika mereka salah maka
KeKristenan didirikan diatas kebohongan. Tapi jika mereka benar, mujizat seperti itu secara
memperkuat semua yang Yesus katakan mengenai ALLAH, diriNya, dan kita.
Tapi apakah kita percaya pada kebangkitan Yesus hanya dengan iman saja, tapi apakah ada
bukti historis yang kuat? Beberapa ahli skeptis mulai meneliti catatan historis untuk
membuktikan bahwa catatan kebangkitan itu salah. Apa yang mereka temukan?
Klik disini untuk melihat bukti dari klaim fantastis yang pernah dilakukan --- kebangkitan
Yesus Kristus!
Apa Yang Yesus Katakan Setelah Kita Mati?
Jika Yesus benar-benar bangkit dari kematian, maka Dia seharusnya tahu ada apa setelah
kematian itu. Apa yang Yesus katakan mengenai arti kehidupan dan masa depan kita?
Apakah ada banyak jalan ke ALLAH atau klaim hanya Yesus satu-satunya jalan? Baca dan
mulai menjawab "Kenapa Yesus?"
Klik disini untuk membaca "Kenapa Yesus?" dan temukan apa yang Yesus katakan
mengenai kehidupan setelah kematian.
Bisakah Yesus Memberi Arti Pada Kehidupan?
"Kenapa Yesus?" meneliti pertanyaan Yesus relevan atau tidak sekarang ini. Bisakah Yesus
menjawab pertanyaan besar kehidupan, "Siapa saya!?" "Kenapa saya disini?" dan, "Kemana
saya pergi?" Penutupan gereja-gereja dan penyaliban telah menuntun sebagian orang percaya
Dia tidak bisa, dan Yesus telah meninggalkan kita untuk menghadapi dunia yang tidak bisa
dikontrol. Tapi Yesus telah membuat pernyataan mengenai kehidupan dan tujuan kita ada
9
disini di dunia, yang perlu diteliti sebelum kita menyebutnya sebagai tidak peduli atau tidak
mampu. Artikel ini meneliti misteri kenapa Yesus datang di dunia.
Klik disini untuk menemukan bagaimana Yesus bisa memberi arti kehidupan.
ENDNOTES
1. Quoted in Robert Elsberg, ed., A Critique of Ghandi on Christianity (New York: Orbis
Books, 1991), 26 & 27.
2. Joseph Klausner, Jesus of Nazareth (New York: The Macmillan Co., 1946), 43, 44.
3. Will Durant, The Story of Philosophy (New York: Washington Square, 1961), 428.
4. Linda Kulman and Jay Tolson, “The Jesus Code,” U. S. News & World Report,
December 22, 2003, 1.
5. Ravi Zacharias, Jesus among Other Gods (Nashville, TN: Word, 2000), 89.
6. Peter Kreeft and Ronald K. Tacelli, Handbook of Christian Apologetics (Downers Grove,
IL: InterVarsity, 1994), 150.
7. John Piper, The Pleasures of God (Sisters, OR: Multnomah, 2000), 35.
8. Bono, quoted in, Timothy Keller, The Reason for God (New York: Penguin Group
Publishers, 2008), 229.
9. John 17:3.
10. John 14:9
11. John 8:58.
12. John 11:25
13. John 8:12
14. John 14:6
15. Ibid.
16. For the meaning of “ego eimi.” See, http://www.y-jesus.com/jesus_believe_god_2.php
17. John 10:33
18. C. S. Lewis, Mere Christianity (San Francisco: Harper, 2001), 51.
19. Lewis, Ibid.
20. A Deist is someone who believes in a standoffish God—a deity who created the world
and then lets it run according to pre-established laws. Deism was a fad among
intellectuals around the time of America’s independence, and Jefferson bought into it.
21. Lewis, 52.
22. J. I. Packer, Knowing God (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1993), 57.
23. Philip Schaff, The Person of Christ: The Miracle of History (1913), 94, 95.
24. Lewis, 52.
25. Schaff, 98, 99.
26. Bono, Ibid.
27. Lewis, 52.
Permission to reproduce this article: Publisher grants permission to reproduce this material
without written approval, but only in its entirety and only for non-profit use. No part of this
material may be altered or used out of context without publisher’s written permission. Printed
copies of Y-Origins and Y-Jesus magazine may be ordered at:
www.JesusOnline.com/product_page
© 2007 B&L Publications. This article is a supplement to Y-Jesus magazine by Bright Media
Foundation & B&L Publications: Larry Chapman, Chief Editor.