Rabu, 11 April 2012

Suudi & Rafiz Slideshow Slideshow

Suudi & Rafiz Slideshow Slideshow: TripAdvisor™ TripWow ★ Suudi & Rafiz Slideshow Slideshow ★ untuk Nigeria, Delhi and Roma (near Rome). Slideshow perjalanan gratis yang menakjubkan di TripAdvisor

Minggu, 01 April 2012


FAKTOR PERBEDAAN MADZHAD FIQIH
MAKALAH
                                                  Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu: Abu Hapsin, Ph.d, M.ag.





Disusun oleh:



 Yazied                       (102311079)



FAKULTAS SYARI’AH
Hukum Ekonomi Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

FAKTOR PERBEDAAN MADZHAB FIQIH

I.PENDAHULUAN
Sejak lahirnya agama islam yaitu semenjak Rasulullah mendapat wahyu dari Allah untuk menyebarkan agama islam persoalan-persoalan tentang hukum sesustu perkara sering muncul. Karena memang ajaran islam berisi tentang aturan dan undang-undang bagi manusia. Walaupun permasalahan terjadi di zaman Rasulullah permasalahan tersebut dapat diselesaikan hal ini mengingat di masa itu sang pembawa syari’at masih dapat dimintai jawaban atas masalah tersebut terlebih wilayah masih sebatas jazirah arab.
 Semasa  setelah Rasulullah islam semakin luas dan berkembang hingga ke berbagai pelosok negeri. Tentunya dengan makin bertambahnya wilayah islam persoalan-persoalan baru muncul sementara dalam pemecahan masalahnya tidak semuanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi dan hal ini menjadi tanggung jawab islam dari masa ke masa. Maka, munculah metode baru bagi pemecahan masalah tersebut seperti qiyas dan ijma’ setelah terlebih dahulu merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah . Dari ijtihad para mujtahid menggunakan metode tersebut terjadi ikhtilaf pada hasil akhirnya hal ini disebabkan berbagai faktor meliputi faktor lingkungan, pemahaman dan sebagainya.
II.POKOK PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perbedaan Madzhab
B.     Ruang Lingkup Perbedaan Madzhab
C.     Faktor-Faktor Perbedaan Madzhab
III. PEMBAHASAN
A.Sejarah Perbedaan Madzhab
Membicarakan tentang terjadinya perbedaan madzhab tidak lepas dari perkembangan fiqih itu sendiri. Hal ini terjadi karena yang menjadi perbedaan dikalangan para madzhab adalah lapangan fiqih, meskipun tidak menutup kemungkinan perbedaan juga terjadi di bidang akidah.
Periode ini berlangsung sekitar tahun 610-632 M/ 1-10 H.Fiqih di era ini terjadi pada dua tempat.pertama era fiqih di mekkah. Di era ini sebenarnya hukum yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lebih terfokus pada proses penanam tata nilai tauhid, seperti rukun iman dan perintah berakhlak karimah seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan. Beberapa hukum yang turun di era ini lebih nmengedepankan revolusi akidah bangsa arab.
Dengan kata lain, periode Makkah merupakan periode  revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyyah  menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan yang fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat[1].
Kedua adalah fiqih era Madinah. Pada era ini hukum-hukum seperti ibadah, muamalah, masalah kekeluargaan dan hal-hal lain turun kepada Nabi Muhammad. Kelak hukum-hukum seperti ini banyak terjadi ikhtilaf. Pada era ini disebut sebagai era revolusi sosial dan politik hal ini ditandai dengan penataan pranata kehidupan masyrakat Madinah dan dilanjutkan praktek pemerintahan oleh Nabi Muhammad hingga  menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.Pada kedua masa ini hampir tidak ada permasalahan yang tidak terselesaikan karena pada masa ini setiap hal yang ada permasalahannya bisa langsung dicari jawabannya yang disampaikan oleh nabi muhammad yang berasal dari wahyu Allah atau melalui Sunnah nabi yang selalu dibimbing oleh wahyu.
Sedangkan pada masa Sahabat (khulafaur-rasyidin) wilayah islam mulai melebarkan sayapnya hingga ke wilayah Persia, Irak, Syam dan Mesir sehingga fiqih pun menghadapi persoalan baru yang belum ada di masa Nabi Muhammad. Maka untuk menyelesaikan persoalan tersebut para sahabat berinisiatif untuk berijtihad dengan terlebih dahulu merujuk dalam al-Qur’an dan Sunnah. Para Sahabat berkumpul dalam suatu majlis untuk memusyawarahkan persoalan baru. Dan bila terjadi titik temu pemecahannya dan disepakati bersama barulah diputuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudian hari metode ini dikenal dengan ijma’.  Kondisi ini berlangsung hingga era kepemimpinan Khulafa al Rasyidin (632-662 M/ 11-41 H) berakhir dan digantikan oleh kepemimpinan Mu’awiyah.
Pada masa selanjutnya yaitu periode sighar sahabat atau tabi’in (masa kepemimpinan Bani Umayah dan Abassiyah).manhaj atau metode pemecahan persoalan baru juga menggunakan metode para pendahulunya yaitu dengan merujuk pada al-Qur’an dan sunnah dan apabila tidak mendapatkan pemecahannya mereka merujuk pada ijtihad para sahabat baru kemudian mereka melakukan ijtihad sesuai dengan kaidah ijtihad yang dilakukan para Sahabat. Pada masa ini permasalahan makin  bertambah luas hal ini karena cakupan wilayah islam telah menyebar ke berbagai penjuru mulai dari utara benua Afrika hingga ujung selatan benua Asia.
Dalam periode ini lahir madzhab-madzhab (aliran-aliran) di bidang fiqih (hukum)yang kemudian menyebar dan diikuti oleh umat islam di berbagai belahan dunia sampai sekarang, diantara pendiri madzhab-madzhab itu antara lain Imam  Ja’far al-Shadiq (699-765 M), Imam Abu Hanifah (699-767  M), Imam Malik bin Anas (712-795 M ), Imam Syafi’i (769-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)[2].
B.Ruang Lingkup Perbedaan madzhab
Dikalangan sebagian ulama’, baik salaf maupun khalaf, dikenal luas sebuah kaidah yang berbunyi,”perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin hanya terbatas pada masalah fiqih, tidak pada masalah akidah”. Kaidah ini hampir menjadi kaidah yang bersifat mutlak bag i kebanyakan ulama[3].
Pada masa khalifah Abu Bakar terjadi suatu peperangan yang memakan korban sekitar 500 sahabat dan 70 diantara adalah khuffadz al-Qur’an. Akhirnya timbul kekhawatiran Umar bahwa dengan meninggalnya para  khuffadz akan mengakibatkan hilangnya warisan al-Qur’an dengan berinisiatif mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu. Reaksi Umar disangsikan oleh khalifah Abu Bakar dengan alasan bahwa hal ini belum pernah dilakukan oleh Nabi sebelumnya. Umar  terus mendesak Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu dengan alasan kemaslahatan umum. Akhirnya dengan dorongan Umar dan izin Allah Abu Bakar menemui Zaid bin Tsabit (salah satu sahabat yang mencatat wahyu di masa Rasulullah). Selain peristiwa tersebut juga terjadi peristiwa lain yang belum pernah terjadi di masa Rasulullah seperti perbedaan tentang bacaan al-Qur’an, tentang pembagian harta rampasan perang (ghanimmah) yang di masa Rasulullah seperlimanya untuk prajurit perang, tetapi di masa khalifah Umar bin Khatab justru harta ghanimmah tersebut tidak dibagikan kepada prajurit perang melainkan dialokasikan untuk  kesejahteraan umat dan pendapat ini disetujui oleh Ustman, Ali, Muadz bin Jabal dan Talhah. Sedangkan  Abdurrahman bin Auf, Ammar bin Yasir dan Bilal bin Rabah menolak gagasan tersebut. Mereka menuntut agar empat perlima dari tanah tersebut dibagi- bagikan sesuai dengan yang diperintahkan alam ayat ghanimmah.
Demikian merupakan contoh kecil perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para sahabat. Akan tetapi perbedaan tersebut hanya terjadi pada lapangan hukum (fiqih)  saja yang bersifat furu’iiyah  tidak merambah kepada hal-hal yang bersifat  qoth’i  dan  hal-hal yang berbau akidah. Hal ini karena kebanyakan nash-nash yang menerangkan akidah sudah jelas dan qoth’i meskipun tidak semuanya.
Hal ini menjadikan para ulama riskan dan enggan  memperdebatkan masalah yang berbau akidah. Tetapi jika menilik sejarah terjadi perbedaan pendapat dalam hal-hal yang berbau akidah. Hal ini karena dalam ayat al-Qur’an terdapat pula aya-ayat mustaybihat di samping ayat-ayat muhkamat seperti pemahaman tentang lafadz kursyi atau lafadz istawa  selain kedua lafad tersebut masih banyak lafadz-lafadz lain yang berhubungan dengan akidah yang bermakna mustasybihat yang kemudian hari dipertentangkan  makna sebenarnya.
C.Faktor-Faktor Perbedaan Madzhab
Semakin bertambah luasnya wilayah islam maka permalahan-permasalahan pun semakin komplek maka dalam pemecahan masalahnya pun terjadi perbedaan karena sebekumnya masalah tersebut belum pernah terjadi sementara dalam al qur’an dan hadits tidak ada nashnya.
Adapun yang menyebabkan perbedaan pendapat(khilafiyyah) tersebut, antara lain sebagai berikut:[4]
a)      Legimitasi kebolehan berijtihad.
Allah dan Rasul-Nyamemberikan legimitasi (pengakuan keabsahan secara formal) terhadap kegiatan ijtihad untuk menemukan hukum terhadap suatu masalah yang secara khusus belum disebutkan dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Hal ini memeberikan rangsangan para mujtahid untuk mencari kebenaran hakiki tentanghukum masalah yang belum disebutkan tersebut;
b)      Perbedaan dalam memahami ayat-ayat dzanniyat.
Ayat-ayat dznniyat adalah ayat-ayat yang memungkinkan mujtahid memahami dan mengambil kesimpulan hukum yang berbeda dari ayat-ayat tersebut. Umpamanya dalam memahami arti yang dikehendaki dari kalimat (kata) yang menurut bahasa Arab kalimat tersebut mengandung lebih dari satu makna;
c)      Perbedaan dalam menilai hadits.
Para mujtahid kadang-kadang berbeda dalam menilai validitas dan kualitas sebuah hadits, umpamanya apakah sebuah hadits itu Mutawattir, atau Ahad, apakah hadits itu Sahih, Hasan atau Dlaif. Perbedaan penilaian ini bisa mengakibatkan munculnya kesimpulan hukum yang berbeda dari para mujtahid tersebut;
d)     Perbedaan dalam menilai posisi Muhammad SAW.
Para mujtahid terkadang berbeda dalam melihat nilai yang keluar (perkataan,perbuatan, dan penetapan) dari Nabi Muhammad SAW. Apakah Nabi Muhammad SAW, waktu berucap, bertindak atau menetapkan posisinya sebagai manusia biasa atau sebagai Rasulullah. Kalau ia berucap, bertindak dan menetapkan bertindak dalam posisi sebagai Rasulullah, maka apa yang keluar dari Nabi Muhammad terseut mempunyai nilai mengikat(dasar tasyri’) wajib diikuti ole umatnya. Namun, kalau hal itu keluar dari Nabi Muhammad sebagai manusia biasa, nilainya tidak mengikat. Umat Muhammad terhadap yang terakhir ini mempunyai kebebasan apakah mau mengikutinya atau tidak;
e)      Perbedaan dalam menerapkan kaidah ushuliyah.
Para ulama kadang berbeda-beda dalam menerapkan kaidah ushuliyah, yaitu tata aturan yang berlaku dan dianut serta dijadikan dasar oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum. Perbedaan penerapan kaidah ushuliyah ini bisa mneimbulkan perbedaan hukum hasil ijtihad para mujtahid yang keluar dari nash yang digalinya;
f)       Faktor diri mujtahid dan lingkungannya.
Perbedaan pendapat bisa muncul karena perbedaankondidsi diri mujtahid, baik yang menyangkut latar belakang pendidikan, latar belakang kehidupan, watak, pengalaman, dan kepandaiannya. Demikian juga perbedaan pendapat  bisa muncul, karena perbedaan kondisi lingkungan tempat mujtahid menggali hukum, dalam arti sekalipun kasusnya sama, namun hukum bagi kasus tersebut bisa berbeda, karena perbedaan lingkungan (daerah) tempat kasus itu terjadi;
IV. KESIMPULAN
Membicarakan tentang terjadinya perbedaan madzhab tidak lepas dari perkembangan fiqih itu sendiri. Hal ini terjadi karena yang menjadi perbedaan dikalangan para madzhab adalah lapangan fiqih, meskipun tidak menutup kemungkinan perbedaan juga terjadi di bidang akidah.
Perkembangan fiqih terjadi dalam beberapa periode yaitu masa rasulullah , masa khulafa’ ar- rasyidin, masa shigar tabi’in yang kemudian hari memunculkan imam-imam ahli fiqih seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hanbali dan Imam Syafi’i.
Dikalangan sebagian ulama’, baik salaf maupun khalaf, dikenal luas sebuah kaidah yang berbunyi,”perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin hanya terbatas pada masalah fiqih, tidak pada masalah akidah”. Kaidah ini hampir menjadi kaidah yang bersifat mutlak bag i kebanyakan ulama.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat antara lain:
·         Legimitasi kebolehan berijtihad.
·         Perbedaan dalam memahami ayat-ayat dzanniyat.
·         Perbedaan dalam menilai hadits.
·         Perbedaan dalam menilai posisi Muhammad SAW.
·         Perbedaan dalam menerapkan kaidah ushuliyah.
·         Faktor diri mujtahid dan lingkungannya.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat penulis susun. Semoga dapat memberi manfaat bagi para pembaca bagi civitas akademika pada khususnya dan bagi masyarakat luas pada umumnya. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Tentunya kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sebagai bahan perbaikan  makalah dan pembuatan makalah di masa mendatang.









DAFTAR PUSTAKA
Ø  Sirry, Mun’im A, Sejarah fiqih Islam:Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, cet I.
Ø  Usman, Suparman, Prof, Dr, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam tat Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama,2002, cet II.
Ø  Abu al-Fattah al-Bayanuni, Muhammad, Dr, Dirasah Fi Al-Ikhtilafat Al- Ilmiyyah;Haqiqatuha, Nasy-Atuha, Asbabuha, Al-Mawaqif Al-Mukhtalaf Minha (terj.), Cairo: Dar Al-Salam, 1998, cet.I.


[1] Mun’im .A Sirry, sejarah fiqih islam:sebuah pengantar, hlm 23,Risalah Gusti, Surabaya, 1995
[2] Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, hlm 91, Gaya Media Pratama, Jakarta, cet ke-2, 2002.
[3] Abu al-Fattah al-Bayanuni, Muhammad, Dr, Dirasah Fi Al-Ikhtilafat Al- Ilmiyyah;Haqiqatuha, Nasy-Atuha, Asbabuha, Al-Mawaqif Al-Mukhtalaf Minha (terjemahan.), Cairo: Dar Al-Salam, 1998, cet.I.

[4] Ibid, hlm 94.